Daku melagukan kerinduan yang mendalam...
Jemariku tak lelah mengukir cinta yang terpendam...
Saat wangian mulai mekar dalam jiwa yang remuk redam...
Sehingga akhirnya ragaku hanyut dalam kegelapan malam...
Hasbi Rabbi Jalallah,
Mafi Qalbi Ghairullah,
Nur Muhammad Salallah,
La ilaha Ila ALLAH...
Langit telah mengguncahku dengan tangisannya..
Yang membuat daku berdebar dalam gerak tariku...
ketika daku berputar dalam zikir makrifat...
Sedang awan mendung melihat jasadku terbujuk kaku...
Saat kata kata cintaku terbuai..
Terikat daku dengan shouq kerinduanku,
Tubuhku sudah terdiam sepi di tepian jalan keimanan..
Daku telah hanyut dalam dia dan aku..
Thursday, 12 December 2013
Kembali
Islam tidak asing di bumi mana pun... dakwah sudah sampai kepada mereka.. melalui jalan apapun...
Orang yang tidak beragama islam sendiri di luar negara sudah mampu menghadam tentang islam bahkan mereka lebih tertarik untuk menganut agama Allah swt dengan lemah lembutnya di sana berbanding di Malaysia....
Pernah saya katakan kepada seseorang, bahawa saya memang ingin berhijrah ke negara seperti Amerika mahupun china... mereka bersikap terbuka.. orang islam boleh mengamalkan cara hidup islam... walaupun terkadang sikap sebahagian mereka yang mengatakan islam itu teroris masih ada...berbanding segelintir orang di Malaysia yang masih hidup dalam dengki mendengki dan sebagainya..
Suasana baru kadang2 penting untuk jiwa seorang hamba....
Sunday, 21 July 2013
KESEPIAN JIWA KERIUHAN RAMADHAN
Bulan Ramadhan yang mulia sudah 12 hari menjengah. Masjid-masjid dan pusat ilmu sudah mula berlumba-lumba dalam menambah jemaah masuk ke dalam syahru tarbiyyah dengan pengisian ruh dan jiwa. Keadaan daku di sini pula terus berlumba dalam melawan, menerima dan mengkaji. Sudah lama rasanya tidak daku coretkan beberapa ahwal yang banyak sekali wujud fi kulli makan wa kulli zaman.
Beginilah keadaan di KUIM, tidak seperti kebiasaannya pada tahun akhir ini daku rasa terlalu sibuk dengan ahwal pelajaran,bertambah peringkat kepayahan telah membuat kami semua struggle untuk terus menimba ilmu di sini. Setelah beberapa peringkat daku leka, kali ini daku perlu mengejar sebenar-benar kejar.
Semenjak sem baru bermula, daku sudah hampir tidak punya masa untuk bermesra-mesra dengan sahabat di alam maya. Aktiviti ku sudah tidak seperti biasa, daku giat menterjemah kitab-kitab arab dalam tugasan-tugasan syariah ku manakala perkara yang sama perlu daku lakukan terhadap Jurnal kes undang-undang dalam bahasa inggeris. Permulaan payah kerana tatabahasa arabku masih berterabur, namun ini satu satunya peluang terbaik untuk daku memperbaiki kelemahan bahasa syurga tersebut. Tugasanku mengenai pernikahan dengan Kitabiyyah dan Syahadat fi Al Qada'i memaksa daku merujuk kitab-kitab fiqh karangan ulama muktabar yang tiada kitab terjemahannya di sini kerana sumber yang terhad di perpustakaan. Antaranya kitab Syafiiyah, Malikiyyah , Hanafiyyah, Fatwa Syarawi, kitab Abdul Karim Zaidan dan sudah tentu kitab rujukan utama kami yakni kitab Fiqh Dr Wahbah Zuhaily. Adapun memang tidak banyak kitab fiqh yang sudah di terjemah di sini, kitab yang daku jumpa mengenai hukum wanita Kitabiyyah di nikahi dengan muslimin pun daku termui dalam bahasa melayu yang sudah di tarjim hanyalah kitab Sayyid Sabiq yakni Fiqh Sunnah. Jadi sememangnya untuk bermain-main atau bermanja-manja tidak ada lagi dalam senarai harianku, kerana sememangnya telah ku padatkan dengan aktiviti ilmu.
Dalam riuhnya Ramadhan ini, daku mulai mengisi tarbiyyah jiwa dan ruhi, mengenangkan diri juga banyak dosa, takut-takut tak sempat bertemu Ramadhan yang seterusnya.. takut-takut daku tercelaka kerana tidak mendapat pengampunan (Semoga di jauhkan ) walhal, bulan ini adalah bulan pengampunan dan bulan percintaan antara kekasih dengan Kekasih.. MasyaAllah.. Betapa hebatnya pada bulan ini terturunnya pelengkapan Al Quran sebagai rahmat yang besar buat umat NABI MUHAMMAD SAW. Beruntungnya jiwa kita-kita yang sudah salim dan sudah kembali tenang apabila menghadap Rabbi al A'la. Sekiranya dulu kita di uji maka ini adalah masanya kita melengkapkan jawapan ujian setiap tahun, menjawab segala permasalahan jiwa dengan tarbiyyah. Mengapa ia seperti soalan dan jawapan? Anggaplah soalan itu adalah ujian dan jawapan sebagai keputusannya. Sudah beberapa bulan kita ini di uji, dengan hakikat tak sabar, dengan rasa tak redha, dengan rasa berat beribadah, dengan segala rasa mazmumah yang bergelumang dengan jiwa dan rasa. Kenapa? Kerana kita ini tergolong dalam MANUSIA yakni tercipta juga dari asal perkataan " nissian" yakni lupa. Sifat manusialah suka leka dan suka tak berhati-hati dalam setiap hal apabila tak datang pertimbangan yang waras. Manusia biasa taklah normal tanpa dosa, kerana kita ini bukan maksum. Lalu pada satu bulan yang mulia ini lah, ALLAH SWT memanggil manggil jiwa yang sepi untuk di isi dengan tarbiyyah dariNYA. Bermula dengan niat, seseorang akan belajar mengenai keikhlasan, dan bermula dengan kelaparan dia akan belajar Redha terhadap sehariannya tidak makan atau minum. Apatah lagi, jika hidayah Allah datang kepadanya, maka tidak mustahil, jika dulu dia jahil, dia mampu menjadi lebih baik dari alim. Adapun proses ini tidak akan terjadi hanya dalam bulan Ramadhan ini saja. Bulan yang mulia yang mempunyai lebih 1000 kaifiat ini hanyalah sebagai asbab yang baik, sebagai hadiah dari ARRAHMAN untuk jiwa-jiwa yang mungkin telah tidur untuk setahun atau lamanya. Mudah-mudahan malam-malam yang kita isi dengan ibadah mampu melantik hati kita sebagai raja yang adil lagi baik.
Berlumba-lumbalah dalam hal kebajikan dan jangan lah mencela orang-orang yang berbuat kemungkaran, sesungguhnya mereka itu adalah cermin dari kamu. Menunjukkan bahawa kamu punya tugas sebagai seorang UMAT NABI SAW. Maka jalankanlah tugasmu itu dengan hati yang terbuka. Memang payah, tapi jalan ke syurga itu tidak boleh di dapati dengan mudah.
Jalanilah hari-hari ini dengan penuh menggapai kesempatan kerana tidak tahu esok hari muncul atau tidak tiba...... :)
Salam Ramadhan buat para sahabatku.. Mudah mudahan Ramadhan ini menjadikan kamu seorang hamba yang lebih baik dari sebelumnya... :)
Tuesday, 28 May 2013
Qasidah IbadaAllah RijalAllah
‘Ibaadallah rijaalallaah/aghiitsuunaa li ajlillaah
Wa kuunuu ‘awnanaa fillaah/’asa nahzhaa bi fadhlillaah
Wahai hamba-hamba Allah (para awliyaullah), wahai para pejuang Allah
Berilah kami pertolongan karena Allah
Jadilah engkau penolong kami dalam segala ibadah kepada Allah
Semoga kami beruntung dengan karunia Allah
Wa yaa aqthaab wa yaa anjaab/wa yaa saadaat wa yaa ahbaab
Wa antum yaa uulil albaab/ta’aalaw wan shuruu lillah
Wahai para wali Qutub, wahai para wali Anjab
Wahai para pemimpin kami dan para kekasih Allah
Kalian semua wahai ahli-ahli ibadah
Datanglah dan tolonglah kami karena Allah
Sa-alnaakum sa-alnaakum/waliz-zulfa rajaw naakum
Wa fii amrin qashadnaakum/fa syudduu azmakum lillaah
Kami memohon, memohon kepada kalian
Untuk mendapatkan kedekatan kepada rahmat Allah
Kami harapkan kalian
Dalam persoalan (masalah), kami bermaksud kepada kalian,
Maka mantaplah tekad kalian untuk menolong kami karena Allah
Fa yaa rabbi bi saadaatii/tahaqaqlii isyaaraati
‘asa ta’tii bi syaaratii/wa yashfuu waqtuna lillaah
Wahai Tuhanku, dengan pangkat para pembesarku,
Buktikanlah semua keinginan-keinginan itu,
Semoga datang semua yang menggembirakanku
Dan menjadi suci (tenang) waktu (kehidupan kami) untuk Allah
Bi kasyfil juhbi ‘an ‘aynii/wa raf’il bayni min baynii
Wa thamsul kayfa wal ‘ayni/bi nuuril wajhi yaa Allah
Dengan terbukanya bukti pada pandangan kami
Terangkatnya jarak pemisah antara aku dengan Engkau
Terhapusnya cara (tanpa menggambarkan, tanpa menempatkan)
Berkat cahaya Dzat-Mu ya Allah
Shalaatullaahi mawlaanaa/’alaa man bil hudaajaanaa
Wa man bil haqqi awlaanaa/syafii’il khalqi ‘indallah
Semoga Rahmat Allah Tuhan kami,
Dilimpahkan atas Nabi yang datang kepada kami dengan hidayah petunjuk
Dan kepada orang yang telah menunjukkan kebenaran agama
Yang memberikan pertolongan kepada makhluk nanti di Sisi Allah
Wa kuunuu ‘awnanaa fillaah/’asa nahzhaa bi fadhlillaah
Wahai hamba-hamba Allah (para awliyaullah), wahai para pejuang Allah
Berilah kami pertolongan karena Allah
Jadilah engkau penolong kami dalam segala ibadah kepada Allah
Semoga kami beruntung dengan karunia Allah
Wa yaa aqthaab wa yaa anjaab/wa yaa saadaat wa yaa ahbaab
Wa antum yaa uulil albaab/ta’aalaw wan shuruu lillah
Wahai para wali Qutub, wahai para wali Anjab
Wahai para pemimpin kami dan para kekasih Allah
Kalian semua wahai ahli-ahli ibadah
Datanglah dan tolonglah kami karena Allah
Sa-alnaakum sa-alnaakum/waliz-zulfa rajaw naakum
Wa fii amrin qashadnaakum/fa syudduu azmakum lillaah
Kami memohon, memohon kepada kalian
Untuk mendapatkan kedekatan kepada rahmat Allah
Kami harapkan kalian
Dalam persoalan (masalah), kami bermaksud kepada kalian,
Maka mantaplah tekad kalian untuk menolong kami karena Allah
Fa yaa rabbi bi saadaatii/tahaqaqlii isyaaraati
‘asa ta’tii bi syaaratii/wa yashfuu waqtuna lillaah
Wahai Tuhanku, dengan pangkat para pembesarku,
Buktikanlah semua keinginan-keinginan itu,
Semoga datang semua yang menggembirakanku
Dan menjadi suci (tenang) waktu (kehidupan kami) untuk Allah
Bi kasyfil juhbi ‘an ‘aynii/wa raf’il bayni min baynii
Wa thamsul kayfa wal ‘ayni/bi nuuril wajhi yaa Allah
Dengan terbukanya bukti pada pandangan kami
Terangkatnya jarak pemisah antara aku dengan Engkau
Terhapusnya cara (tanpa menggambarkan, tanpa menempatkan)
Berkat cahaya Dzat-Mu ya Allah
Shalaatullaahi mawlaanaa/’alaa man bil hudaajaanaa
Wa man bil haqqi awlaanaa/syafii’il khalqi ‘indallah
Semoga Rahmat Allah Tuhan kami,
Dilimpahkan atas Nabi yang datang kepada kami dengan hidayah petunjuk
Dan kepada orang yang telah menunjukkan kebenaran agama
Yang memberikan pertolongan kepada makhluk nanti di Sisi Allah
Tuesday, 21 May 2013
Fiqh Ibadat: Puasa : Pembersihan Jiwa Dan Diri
FIQH IBADAT
SHA 1002
PUASA: PEMBERSIHAN JIWA DAN DIRI
DIPLOMA UNDANG-UNDANG DAN SYARIAH
Disediakan untuk: Ustaz Suhaimi Bin
Abu Hassan
Disediakan Oleh : PKA
Siti Nur Shahida binti Md Saat
Nurul Ibni binti Zainuddin
Siti Aisyah binti Awaludeen
ISI
KANDUNGAN
1.0 PENDAHULUAN
2.0 PENGENALAN
2.1
Sebab Nuzul Ayat
2.2
Pengertian Puasa
2.3
Penentuan Awal Ramadhan Dan Syawal
2.4
Syarat Wajib Puasa
2.5
Rukun Puasa
2.6
Perkara Yang Disunatkan Dalam Berpuasa
3.0 JENIS-JENIS PUASA
3.1 Puasa wajib
3.2 Puasa Sunat
3.3 Puasa Makruh
3.4 Puasa Haram
4.0
PERKARA-PERKARA YANG MEMBATALKAN PUASA
5.0
RUKHSAH PUASA
5.1
Musafir Dan Orang Sakit
5.2
Orang Yang Terlalu Tua Dan Pesakit Yang Tiada Harapan Untuk Sembuh
5.3
Perempuan Hamil Dan Menyusukan Anak
6.0
QADHA PUASA
6.1
Fidyah
6.2
Kafarah Puasa
Kesimpulan
Bibiliografi
1.0 PENDAHULUAN
Alhamdulillah kami bersyukur kepada Allah SWT yang telah
mengurniakan taufiq dan hidayah-Nya. Selawat dan salam untuk Rasul Junjungan
Muhammad SAW. Untuk pengetahuan, buku tugasan subjek Fiqh Ibadat ini
menghuraikan dan membahaskan dengan terperinci tentang ibadat puasa. Buku
tugasan ini mempunyai 5 bahagian yang mengupas perkara-perkara yang berkaitan
puasa daripada yang umum hinggalah kepada pengkhususannya.
Bahagian pertama dipenuhi
dengan kupasan yang menjurus kepada pengenalan puasa yang merangkumi bukti
daripada firman Allah tentang kewajipan berpuasa, pengertian puasa, penentuan
awal Ramadhan dan Syawal, syarat wajib puasa, syarat sah puasa, rukun puasa,
kelebihan berpuasa dan perkara-perkara yang disunatkan dalam berpuasa.
Manakala, bahagian kedua pula, mengulas secara mendalam berkaitan jenis-jenis
puasa yang terkandung di dalamnya puasa wajib, puasa sunat, puasa makruh dan
puasa yang diharamkan dengan berdalilkan kalamullah dan hadis-hadis yang
terpilih.
Dalam pada itu, perkara-perkara yang membatalkan puasa dihuraikan
secara teliti pada bahagian ketiga yang banyak mendedahkan kepelbagaian
pendapat daripada ulama’. Pada bahagian yang keempat pula, lebih bertumpu
kepada rukhsah puasa antaranya yang melibatkan pelbagai keadaan mukalaf seperti orang yang bermusafir, orang yang
sakit, orang yang terlalu tua, perempuan yang hamil dan menyusukan anak. Qadha’
puasa pula akan dibahaskan pada bahagian kelima yang ada menerangkan tentang
fidyah dan kafarah puasa di samping beberapa kemusykilan mengenai puasa akan
dikupas dalam bahagian tersebut.
Akhir kalam, kepada Allah kami memohon pertolongan dan petunjuk
serta kepada Dia jualah sebaik-baik tempat bergantung dan berserah. Sekian,
jazakallahu khair.
شهر رمضان الذى انزل فيه القرءان هدى للناس
وبينت من الهدى والفرقان فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضا او على سفر فعدة
من ايام اخر يريد الله بكم السير ولا يريد بكم العسر ولتكملوا العدة ولتكبروا الله
على ما هدىكم ولعلكم تشكرون (البقرة : 185)
“ Dalam bulan
Ramadhan diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk kepada manusia dan menjadi
keterangan yang menjelaskan petunjuk serta perbezaan antara yang benar dengan
yang salah. Maka, sesiapa di antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadhan
(atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa di pada bulan itu, dan
sesiapa yang sakit atau dalam musafir (diharuskan berbuka dan hendaklah dia
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kamu menanggung
kesusahan. Hendaklah kamu cukupkan bilangan puasa (sebulan Ramadhan) dan
hendaklah kamu membesarkan Allah kerana mendapat petunjuk dan supaya kamu
bersabar. “
(Surah Al-Baqarah, 2 : 185)
Ayat 185 Surah Al-Baqarah secara umumnya menjelaskan tentang
kelebihan bulan Ramadhan yang mulia dan perkara-perkara yang berkaitan dengan
hukum berpuasa seperti penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal, rukhsah puasa
dan kelebihan berpuasa iaitu mendapat ketaqwaan seperti yang dijelaskan dalam
ayat tersebut. Allah Subhanahu Wata’ala juga menjelaskan bahawa Al-Quran
diturunkan pada bulan Ramadhan untuk menjadi petunjuk kepada manusia dan
membezakan antara yang hak dengan yang batil. Begitu juga dengan keringanan
yang diberi kepada mereka yang tidak mampu berpuasa seperti sakit dan musafir
untuk menunjukkan bahawa ajaran Islam itu mudah dan tidak membebankan
penganutnya.
2.1 SEBAB NUZUL AYAT 185, SURAH AL-BAQARAH
Ibnu Jarir At-Thobari[1]
meriwayatkan daripada Mu’az Bin Jabal bahawa beliau berkata: “Rasulullah SAW tiada di Madinah lalu baginda
berpuasa Asyura’ dan berpuasa tiga hari pada setiap bulan. “ Kemudian Allah menetapkan kewajipan berpuasa
pada bulan Ramadhan dengan turunnya ayat 183 dan 184 daripada Surah Al-Baqarah
yang bermaksud:
يايها الذين ءامنوا كتب عليكم الصيام كما كتب
على الذين من قبلكم لعلكم تتقون (183) اياما معدودت فمن كان منكم مريضا او على سفر
فعدة من ايام اخر وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين... (184)
“
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan kepada kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan ke atas orang-orang yang terdahulu daripada kamu, supaya kamu
bertaqwa. (Puasa yang diwajibkan itu ialah) beberapa hari yang tertentu, maka
sesiapa antara kamu yang sakit atau dalam musafir (dibolehkan berbuka puasa)
kemudian wajiblah dia berpuasa (menggantikannya) sebanyak hari yang
ditinggalkan, pada hari yang lain dan wajib ke atas dengan memberi makan kepada
orang-orang miskin. “
Ayat tersebut menerangkan tentang kewajipan berpuasa secara umum
kemudian menjelaskan tentang keringanan kepada mereka yang musafir dan sakit.
Mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau berbuka dengan member makan kepada
fakir miskin. Kemudian Allah mewajibkan berpuasa kepada orang yang sihat dan
bermukim dengan menurunkan ayat ini yang bermaksud:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه (سورة البقرة : 185)
“
Maka sesiapa antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadhan (atau
mengetahuinya) maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu. “
(Surah Al-Baqarah,2 : 185)
Dalam pada itu, diriwayatkan daripada Salamah Bin Al-Akwa’ bahawa
dia berkata: “ Ketika diturunkan ayat yang menyatakan : “ Dan wajib ke atas orang yang tidak berdaya untuk berpuasa (dengan
sebab tua atau sebagainya) membayar fidyah dengan memberi makan kepada orang-orang
miskin.” Maka ada di antara kami yang hendak berpuasa, dia berpuasa dan
sesiapa yang tidak mahu, ia berbuka dan memberi fidyah sehingga Allah
menurunkan ayat ini : “ Maka sesiapa
antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadhan (atau mengetahuinya) maka
hendaklah dia berpuasa pada bulan itu.“. Ayat ini mewajibkan orang-orang
Islam berpuasa dan menasakhkan ayat sebelumnya iaitu hukum memilih sama ada
hendak berpuasa atau membayar fidyah.
2.2 PENGERTIAN PUASA
Puasa menurut bahasa ialah menahan diri daripada sesuatu. Manakala,
dari segi istilah pula bermaksud menahan diri daripada melakukan
perkara-perkara yang membatalkan puasa, bermula dari terbit fajar sehingga
terbenam matahari yang disertai dengan niat. Allah telah berfirman dalam Surah
Al-Baqarah ayat 187 yang bermaksud:
“ .. Makan dan
minumlah hingga jelas bagimu (perbezaan) antara benang putih dan benang hitam,
iaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.. “
Sabda Rasulullah SAW,
Dari Ibnu Umar,
katanya: Saya telah mendengar Nabi Muhammad SAW berkata: “ Apabila malam datang
dan siang lenyap dan matahari telah terbenam, maka sesungguhnya telah datang
waktu berbuka bagi orang yang berpuasa.”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
2.3 PENENTUAN AWAL RAMADHAN DAN SYAWAL
Para ulama’ berpendapat bahawa sesiapa yang berada dalam bulan
Ramadhan, maka wajib baginya untuk berpuasa. Mereka menentukan cara untuk
mengetahui penentuan awal Ramadhan dan Syawal dengan cara Ru’yatul Hilal iaitu dengan melihat anak bulan. Sebahagian ulama’
yang lain pula berpendapat ia boleh ditentukan melalui Hisab sahaja.
2.3.1 RU’YATUL HILAL (MELIHAT ANAK BULAN)
Sebahagian para ulama’ berpendapat penentuan awal Ramadhan
hendaklah berdasarkan kaedah melihat anak bulan dengan berasaskan bebarapa
hadis Rasulullah SAW. Antaranya:
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال: قال النبى
صلى الله عليه وسلم: صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فان غبي عليكم فاكملوا عدة شعبان
ثلاثين (رواه البخاري)
Daripada Abu
Hurairah RA, katanya: Nabi Muhammad SAW bersabda: “ Berpuasalah apabila kamu
melihatnya (bulan) dan berbukalah apabila kamu melihatnya, jika bulan itu
terlindung, sempurnakanlah bilangan Sya’ban selama 30 hari. “
(Riwayat Bukhari)
عن ابن عمر: ترائ الناس الهلال فاخبرت رسول
الله صلى الله عليه وسلم اني راءيته فصامه وءامر بصيامه (رواه ابو داود)
Ibnu Umar
berkata: Orang ramai telah melihat anak bulan, maka aku memberitahu Rasulullah
SAW bahawa aku telah melihatnya. Rasulullah SAW berpuasa dan Baginda
memerintahkan orang ramai supaya berpuasa.
(Riwayat Abu Daud)
Berdasarkan hadis-hadis yang dinyatakan, jumhur ulama’ berpendapat
bahawa permulaan Ramadhan hendaklah ditentukan dengan Ru’yah ataupun menggenapkan bilangan bulan Sya’ban iaitu 30 hari.
2.3.2 HISAB
Sebahagian ulama’ yang lain pula, berpendapat bahawa awal Ramadhan
boleh ditentukan melalui Hisab yang
juga bersandarkan kepada hadis-hadis Rasulullah SAW sebagai hujah mereka:
عن ابن عمر رضى الله عنهما عن النبى صلى الله
عليه وسلم انه قال: انا امة امية لا نكتب ولا نحسب,الشهر هكذا وهكذا يعنى مرة تسعة
وعشرين ومرة ثلاثين (رواه البخاري)
Diriwayatkan
daripada Ibnu Umar RA daripada Nabi Muhammad SAW bahawa Baginda telah bersabda:
“ Sesungguhnya kami umat yang ‘ummi, tidak tahu menulis dan tidak tahu mengira,
sebulan adalahseperti ini dan seperti ini. Maksudnya ialah sekali 29 (hari) dan
sekali 30 (hari).”
Berdasarkan kepada hadis ini, penentuan awal Ramadhan boleh
digunakan dengan cara Hisab. Mereka
berhujah, orang Islam pada zaman dahulu diwajibkan berpuasa dengan Ru’yah kerana mereka tidak mengetahui Hisab Falak. Kini,dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, umat Islam telah mempunyai pengetahuan tentang Hisab. Oleh itu, mereka tidaklah
semestinya berpegang kepada kaedah Ru’yah
lagi.
عن عبدالله بن عمر رضى الله عنهما ان رسول
الله صلى الله عليه وسلم ذكر رمضان فقال: لاتصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى
تروه فان غم عليكم فاقدروا له (رواه
البخاري)
Diriwayatkan daripada
Abdullah Bin Umar RA bahawa Rasulullah SAW menyebut tentang Ramadhan lalu
bersabda: “ Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat anak bulan (Ramadhan)
dan janganlah kamu berbuka (berhari raya) sehingga kamu melihatnya (anak bulan
Syawal). Sekiranya pandangan kmau dilindungi oleh awan maka hendaklah kamu
menghitungnya.”
(Riwayat Bukhari)
Mereka juga menggunakan hujah akal iaitu sekiranya Hisab Falak boleh digunakan untuk
menentukan waktu solat, mengapakah Hisab
Falak tidak boleh digunakan untuk menentukan awal Ramadhan sedangkan ibadat
solat itu tiang agama? Namun begitu, hujah dan alas an mereka telah ditolak
olah ulama’ yang berpegang dengan kaedah Ru’yatul
Hilal. Oleh itu, kebanyakan Negara Islam menggunakan kaedah Ru’yatul Hilal dalam menentukan awal
Ramadhan dan Syawal.
2.4 SYARAT WAJIB PUASA
Syarat yang pertama ialah berakal. Maka, bagi orang yang gila,
tidak wajib ke atasnya untuk berpuasa. Seterusnya, hendaklah baligh sepertimana
Nabi Muhammad SAW telah berfirman dalam satu hadis yang bermaksud:
رفع القلم عن ثلاثة: عن النائم حتى يستقظ,
وعن الصبى حتى يحتلم, وعن المجنون حتى يعقل (رواه ابو داود)
“ Diangkat
qalam (tulisan amalan) daripada tiga manusia: Daripada orang tidur sehingga dia
bangun, daripada kanak-kanak sehingga dia bermimpi (baligh) dan daripada orang
gila sehinggalah dia berakal.
(Riwayat Abu Daud)
Dalam pada itu, syarat yang lain ialah kuat untuk berpuasa. Maka,
bagi yang tidak upaya untuk berpuasa
kerana sudah tua atau sakit, tidak wajib
ke atasnya untuk berpuasa. Sepertimana Firman Allah dalam Surah
Al-Baqarah ayat
185 yang bermaksud:
ومن كان مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر
يريد الله بكم السير ولا يريد بكم العسر
“Dan sesiapa
yang sakit atau dalam musafir (diharuskan berbuka dan hendaklah dia berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kamu untuk menanggung kesusahan.”
2.5 RUKUN PUASA
Rukun puasa yang pertama ialah niat iaitu keazaman hati untuk
berpuasa kerana ingin melaksanakan perintah Allah Azza Wa Jalla atau
mendekatkan diri kepadaNya sepertimana Rasulullah SAW bersabda:
انما الاعمال
بالنية
“
Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu harus dengan niat.”
Jika puasa wajib, maka niat puasa wajib dilakukan pada sebelah
malam sebelum terbit fajar kerana Rasulullah SAW bersabda:
من لم يبيت الصيام قبل الفجر فلا فصيام له
“
Sesiapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum terbit fajar, maka
tidak ada puasa, baginya.”
(Riwayat An-Nasa’i, Ad-Darimi dan Daruquthni)
Jika puasa sunat, maka sah niat setelah terbit fajar dan matahari
telah meninggi dengan syarat ia belum menjamah sebarang makanan kerana Aisyah
RA berkata:
“ Pada suatu
hari, Rasulullah SAW masuk ke rumah, kemudian bersabda, “Apakah engkau
mempunyai makanan? “ Aku menjawab, “Tidak.” Rasulullah SAW bersabda, “Kalau
begitu aku puasa. “
(Riwayat Muslim)
Rukun puasa yang kedua pula ialah imsak iaitu menahan diri daripada
perkara-perkara yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan bersetubuh.
Rukun puasa yang ketiga ialah waktu iaitu bermula dari terbit fajar
hingga terbenam matahari. Oleh itu, jika seseorang berpuasa pada malam hari dan
berbuka pada siang hari, maka tidak sah puasanya selama-lamanya. Allah
Subhanahu Wata’ala telah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 187:
“ Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. “
(Az-Zabidi
dan Al-Munziri)
2.6 PERKARA YANG DISUNATKAN DALAM BERPUASA
Antara perkara yang disunatkan dalam berpuasa ialah menyegerakan
berbuka puasa setelah pasti terbenam matahari kerana Rasulullah SAW bersabda
yang bermaksud:
لا يزال الناس بخير ما علجوا الفطر
“
Manusia sentiasa dalam kebaikan, selagi mereka menyegerakan berbuka puasa.”
(Riwayat Bukhari, Muslim dan At-Tarmizi)
Selain itu, kita juga disunatkan berbuka puasa dengan kurma masak
atau kurma kering atau air. Berbuka puasa yang paling baik ialah dengan kurma
dan setidak-tidaknya dengan air. Seorang Muslim disunatkan berbuka puasa dengan
bilangan ganjil seperti tiga, lima atau tujuh sepertimana dalam sebuah hadis,
Anas Bin Malik RA berkata,
كان يفطر قبل ان يصلى على رطبات, فان لم
تكن فعلى تمرات, فان لم تكن حسا حسوات من ماء
“
Rasulullah SAW berbuka puasa dengan beberapa biji kurma yang telah masak
sebelum mengerjakan solat Maghrib. Jika tiada kurma masak, maka Baginda berbuka
puasa dengan kurma kering. Jika tiada kurma kering, maka Baginda meneguk
beberapa teguk air.”
(Riwayat Abu Daud dan Ahmad)
Di samping itu,kita juga disunatkan bersahur dan melewatkannya
iaitu makan dan minum ketika bersahur pada akhir malam dengan niat puasa kerana
Rasulullah SAW bersabda:
تسحروا فان فى السحور بركة
“ Bersahurlah kalian kerana pada bersahur itu
terdapat keberkatan.”
(Riwayat Bukhari, Muslim dan At-Tarmizi)
Dalam pada itu, kita digalakkan untuk
menyediakan makanan untuk mereka yang berbuka puasa. Sekiranya tidak mampu memberikan
mereka makan, dia hendaklah memberikan buah kurma ataupun minuman untuk mereka
berbuka seperti sabda Rasulullah SAW:
من فطر صائما كان
له مثل اجره, غير انه لا ينقص من اجر الصائم شيئا
“Barangsiapa yang menyediakan makanan berbuka untuk
orang yang berpuasa, maka dia mendapat ganjaran sepertinya(orang berpuasa)
tanpa dikurangkan ganjaran orang yang berpuasa itu sedikitpun.”
(Riwayat
Tirmizi)
3.0 JENIS-JENIS PUASA
3.1 PUASA WAJIB
1. Puasa di bulan Ramadhan.
Puasa pada bulan ramadhan itu salah satu daripada rukun islam yang
lima. Hukumnya Fardu Ain atas tiap-tiap Mukallaf. Puasa di bulan Ramadhan
adalah wajib berdasarkan Al Quran, As Sunah dan ijmak para ulama. Allah taala
berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 185:
“ (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk-petunjuk itu dan pembeza (antara yang
hak dan yang batil). Kerana itu, sesiapa yang di antara kalian hadir (di negeri
tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
Rasulullah S.A.W bersabda bahawa:
بني الاسلام على خمس : شها دة
اّن لا اله الا الله و ان محمدا رسول الله , وايتا ء الز كا ة , والحج,
وصوم رمضا ن
“ Islam itu di tegakkan di atas lima dasar bahawa tidak ada tuhan
yang berhak disembah kecuali Allah dan bahawa Muhammad utusan Allah, mendirikan
solat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah dan puasa pada bulan Ramadhan.”[2]
( Riwayat Al Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan dalil daripada Al Quran dan Sunah ini, maka puasa di bulan Ramadhan
menjadi salah satu ibadah wajib untuk di jalankan pada masa yang di tentukan.
2. Puasa Qadha
Qadha maksudnya mengganti. Puasa Qadha adalah wajib di tunaikan
terlebih dahulu sebelum datangnya bulan Ramadhan. Malah puasa sunat juga tidak
boleh dikerjakan melebihi daripada mengqadha puasa yang tertinggal sebelumnya.
Sebaiknya puasa yang tertinggal di bulan Ramadhan di ganti dahulu sebelum
mengerjakan puasa sunat yang lainnya. Sekiranya tidak berkesempatan untuk
mengqadha puasa tetapi sudah sampai bulan ramadhan tahun berikutnya maka wajib
ke atas orang yang tidak mengqadha puasanya untuk membayar Fidyah. Fidyah akan
di bahas dengan lebih lanjut pada subtajuk seterusnya. Orang yang meninggalkan
puasa Ramadhan kerana uzur, wajib mengqadha puasanya itu dengan segera pada
hari permulaan kesempatan yang di dapatinya sesudah hari raya. Sebahagian ulama
berpendapat, tidak wajib mengqadha dengan segera, tetapi sepanjang tahun, itu
adalah waktunya untuk mengqadha. Ia boleh memilih sebarang hari dalam tahun itu
untuk mengqadha.
2.1 Kifarah puasa
Kifarat ialah sesuatu yang boleh menebus dosa yang dilakukan kerana
tidak taat kepada Allah. Oleh itu, sesiapa yang tidak taat kepada Allah ,
kemudian melakukan persetubuhan pada siang hari bulan Ramadhan, ia wajib membayar kifarat kerana kesalahan
tersebut dengan melakukan salah satu daripada tiga perkara yakni yang pertama
memerdekakan seorang hamba wanita yang beriman atau berpuasa dua bulan secara
berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin di mana setiap seorang
diberi secupak gandum atau kurma sesuai dengan kemampuannya.
Sabda Rasulullah S.A.W:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ
اللَّه
قَالَ: وَمَا
أَهْلَكَكَ؟
قَالَ: وَقَعْتُ
عَلَى امْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ.
قَالَ: هَلْ
تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ
:لاَ.
قَالَ: فَهَلْ
تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لاَ.
قَالَ: فَهَلْ
تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟ قَالَ: لاَ.
قَالَ: ثُمَّ
جَلَسَ فَأُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهِ
تَمْرٌ
فَقَالَ:
تَصَدَّقْ بِهَذَا.
قَالَ: أَفْقَرَ
مِنَّا فَمَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا.
فَضَحِكَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ
ثُمَّ قَالَ:
اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ.
“Seorang lelaki datang kepada Rasulullah S.A.W. Katanya: Celaka
saya, Ya Rasulullah. Nabi S.A.W berkata: Apakah yang telah mencelakakan engkau?
Jawab lelaki tersebut : Saya telah bersetubuh dengan isteriku, pada siang hari
Ramadhan. Rasulullah S.A.W berkata: Sanggupkah engkau memerdekakan hamba? Jawab
lelaki itu: tidak. Rasulullah S.A.W berkata: kuatkah engkau berpuasa dua bulan
berturut-turut? Jawab lelaki itu: tidak. Kata Rasulullah S.A.W : Adakah engkau
mempunyai makanan untuk diberi makan kepada enam puluh orang fakir miskin?
Jawab lelaki itu: tidak. Kemudian lelaki itu duduk. Maka diberikan orang kepada
Nabi S.A.W sebuah bakul berisi tamar. Rasulullah S.A.W berkata: sedekahkanlah
kurma ini. Kata lelaki itu : Kepada siapakah? Kepada yang lebih miskin dari
saya? Demi Allah tidak ada penduduk kampung ini yang lebih hajat kepada makanan
lain dari kami seisi rumah. Nabi S.A.W tertawa dan berkata: Pulanglah,
berikanlah kurma itu kepada ahli rumahmu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3. Puasa Nazar
Puasa Nazar adalah puasa yang diwajibkan ke atas orang yang telah
bernazar. Apabila seseorang itu telah bernazar
maka wajib ke atasnya melangsaikan tanpa bertangguh apabila hajatnya dikabulkan
oleh Allah SWT. Maka nazar adalah hutangnya kepada Allah SWT yang telah
berjanji menunaikan sesuatu ibadat seperti mana yang dinazarkan. Maka pada
dasarnya janji itu wajib ditepati tanpa bertangguh bila mampu berbuat demikian.
Adapun amalan
yang perlu dilakukan oleh seseorang berpandukan suruhan Allah SWT dalam
al-Quran apabila gagal menunaikan nazarnya kepada Allah SWT, firman di dalam
Surah al-Maidah ayat 89 yang bermaksud:
“
|
Kamu tidak dikira salah oleh
Allah tentang sumpah-sumpah kamu yang tidak disengajakan (untuk bersumpah),
akan tetapi kamu dikira salah oleh-Nya dengan sebab sumpah yang sengaja kamu
buat dengan bersungguh-sungguh. Maka bayaran dendanya ialah memberi makan
sepuluh orang miskin daripada jenis makanan yang sederhana yang kamu (biasa)
berikan kepada keluarga kamu, atau memberi pakaian untuk mereka, atau
memerdekakan seorang hamba. Kemudian sesiapa yang tidak dapat (menunaikan denda
yang tersebut), maka hendaklah ia berpuasa tiga hari. Yang demikian itu ialah
denda penebus sumpah kamu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah – peliharalah
sumpah kamu. Demikianlah Allah menerangkan kepada kamu ayat-ayat-Nya
(hukum-hukum agama-Nya) supaya kamu bersyukur.”
|
3.2 PUASA SUNAT
Puasa sunat adalah puasa yang dikerjakan kerana
semata-mata untuk mengharapkan akan keampunan, keredhaan, balasan daripada
Allah S.W.T. mengikut sunah Rasulullah S.A.W.
Yang pertama adalah puasa hari Arafah bagi orang yang tidak
menunaikan haji di Baitullah. Berdasarkan hadits Abu Qatadah r.a bahawa
Rasulullah S.A.W ditanya tentang puasa pada hari Arafah, baginda menjawab:
يُكَفِّرُ
السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“ menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan
datang.” ( Riwayat Muslim:1162)
Mereka yang sedang berwukuf di Arafah dalam rangka menunaikan
ibadah haji, maka tidak di anjurkan berpuasa pada hari itu berdasarkan hadits
ibnu Abbas r.a bahawa “Rasulullah
S.A.W berbuka di Arafah, ummu Fadhl mengirinmkan segelas susu kepada beliau,
lalu beliau meminumnya.” ( Riwayat Tirmidzi: 750 dalam shahih tirmidzi)
Yang kedua ialah puasa Assyura’ dan puasa Tasu’a iaitu pada 9 dan
10 Muharram, kerana Rasulullah S.A.W bersabda:
يُكَفِّرُ
السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Menghapus dosa setahun yang telah lalu” ( Hadis riwayat
Muslim : 1162)
Bulan Muharam adalah bulan yang dianjurkan untuk memperbanyak puasa
padanya. Berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a, “Rasulullah S.A.W bersabda:
puasa yang paling afdhal setelah ramadhan adalah bulan Allah, Muharam, dan
solat yang paling afdhal setelah solat wajib adalah solat malam.” ( Riwayat
Muslim:1163)
Dan di antara hari-hari dibulan tersebut, lebih dianjurkan lagi
berpuasa pada hari Asyura, iaitu pada 10 Muharam. Hadis Aisyah r.a bahawa
beliau berkata: “Rasulullah S.A.W memerintahkan puasa pada hari Asyura. Maka
tatkala telah diwajibkan Ramadhan, maka siapa yang ingin berpuasa, maka silakan
dan siapa yang ingin berbuka juga boleh” (Riwayat bukhari:1897, Muslim:
1125)
Dianjurkan juga berpuasa pada 9 muharram, berdasarkan hadis Ibnu
Abbas r.a bahawa beliau berkata: tatkala Rasulullah S.A.W berpuasa pada hari
Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya, mereka ( para sahabat) berkata:
Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani. Maka
bersabda Rasulullah S.A.W: jika tiba tahun yang berikutnya, inshaAllah kita pun
berpuasa pada hari ke sembilan. Namun belum tiba tahun berikutnya hingga
Rasulullah S.A.W wafat.” ( Riwayat Muslim:1134)
Yang ketiga ialah puasa enam hari pada bulan syawal. Berdasarkan
hadis Abu Ayyub Al Anshari bahawa Rasulullah S.A.W bersabda:
مَنْ صَامَ
رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“ Barangsiapa yang
berpuasa Ramadhan, lalu menyambungnya dengan enam hari dibulan syawal, maka dia
seperti berpuasa sepanjang tahun.” ( Riwayat Muslim: 1164)
Hadis ini merupakan dalil yang jelas menunjukkan disunnahkan
berpuasa enam hari di bulan syawal. Adapun sebab mengapa Rasulullah S.A.W
menyamakannya dengan puasa setahun telah disebutkan oleh imam Nawawi r.h bahawa
beliau berkata: “ berkata para ulama: sesungguhnya amalan tersebut sama
kedudukannya dengan puasa sepanjang tahun sebab satu kebaikan di dalamnya sama
nilai dengan sepuluh kali lipat, maka bulan ramadhan sama seperti 10 bulan, dan
enam hari sama seperti dua bulan.” (syarah Nawawi: 8/56)
Yang keempat ialah puasa di bulan Syaaban. Di antara bulan yang
dianjurkan memperbanyak puasa adalah di bulan Syaaban. Berdasarkan hadis Aisyah
r.a bahawa beliau berkata:
ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم استكمل صيام شهر قط إلا شهر
رمضان وما رأيته في شهر أكثر منه صياما في شعبان
(رواه البخاري ومسلم)
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah S.A.W menyempurnakan puasa
sebulan penuh kecuali ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa
lebih banyak dari bulan Syaaban ( Riwayat Bukhari:1868)
Kecuali pada hari-hari terakhir, sehari atau dua hari sebelum
datangnya Ramadhan, tidak diperbolehkan untuk berpuasa pada hari itu kecuali
seseorang yang menjadi kebiasaannya berpuasa maka dibolehkan seperti seseorang
yang terbiasa berpuasa isnin dan khamis lalu sehari atau dua hari tersebut
bertepatan dengan hari isnin atau khamis. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah
S.A.W bahawa baginda bersabda: “ Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan
berpuasa sehari dan dua hari, kecuali seseorang yang biasa berpuasa pada hari
itu maka boleh baginya berpuasa. (Riwayat Muslim: 1082)
Seterusnya ialah puasa hari-hari putih( hari purnama bulan) pada
setiap bulan iaitu 13,14 dan 15 haribulan setiap bulan hijrah, berdasarkan
hadis:
عن قتادة بن ملجان رضي الله عنه قال : كان رسول الله صلى الله عليه
وسلم يأمرونا بصيام البيض ثلاث عشرة وأربع عشرة وخمس عشرة
(رواه الترميذي)
Daripada
Qatadah bin Miljan r.a katanya : Adalah Rasulullah s.a.w menganjurkan kepada
kami puasa pada hari-hari cerah (bulan purnama) iaitu 13, 14 dan 15 haribulan.
(Riwayat at
tirmizi)
Puasa tiga hari di pertengahan bulan ini di sebut sebagai hari-hari
putih kerana malam-malam yang terdapat pada tarikh tersebut, bulan bersinar
putih dan terang benderang. Yang lebih menunjukkan keutamaan besar dalam
berpuasa pada hari-hari putih tersebut, di mana Rasulullah S.A.W tidak pernah
meninggalkan amalan ini.
Bahawa diperbolehkan pada hari yang mana sahaja dari bulan tersebut
ia berpuasa, maka ia telah mengamalkan sunah. Namun jika ia ingin mengamalkan
yang lebih utama lagi. Maka dianjurkan untuk berpuasa pada pertengahan bulan
Hijriyyah, iaitu pada 13,14, dan 15.
Yang keenam pula ialah puasa isnin dan khamis. Berdasarkan hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah r.a bahawa Rasulullah S.A.W
di tanya tentang puasa pada hari isnin. Maka baginda menjawab: “ Itu adalah
hari yang aku dilahirkan padanya, dan aku diutus, atau diturunkan kepadaku
(wahyu).” ( Riwayat Muslim:1162)
Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a bahawa Nabi S.A.W berpuasa
pada hari Isnin dan Khamis. Lalu ada yang bertanya: Sesungguhnya engkau
sentiasa berpuasa pada hari Isnin dan Khamis? Beliau menjawab:
“Dibuka
pintu-pintu syurga pada hari Isnin dan Khamis, lalu diampuni (dosa) setiap
orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, kecuali dua orang
yang saling bertikai. Dikatakan: biarkan mereka berdua sampai keduanya
berbaik-baik.” ( Riwayat Tirmidzi:2032, Ibnu Majah: 1740)
Manakala, yang kelima adalah puasa Nabi Daud A.S iaitu berpuasa
sehari dan berbuka sehari. Berdasarkan hadis yang datang daripada Abdullah bin
Amr bin ‘Al Ash r.a bahawa Rasulullah S.A.W bersabda: “ Puasa yang paling
dicintai Allah ta’ala adalah puasa Daud, beliau berpuasa sehari dan berbuka
sehari. Dan Solat yang paling dicintai Allah adalah solatnya Daud, beliau tidur
dipertengahan malam dan bangun pada sepertiga malam, dan tidur pada
seperenamnya.” (Riwayat Bukhari :3238, Riwayat Muslim:1159)
Seterusnya yang dibawakan di sini adalah puasa bagi orang bujang
yang belum mampu bernikah, kerana Rasulullah S.A.W bersabda: “ Sesiapa di
antara kamu yang telah mempunyai keupayaan (iaitu zahir dan batin) untuk
berkahwin, maka hendaklah dia berkahwin. Sesungguhnya perkahwinan itu dapat
menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Maka sesiapa yang tidak
berkemampuan, hendaklah dia berpuasa kerana puasa itu dapat mengawal (iaitu
benteng nafsu).” (Riwayat Bukhari)
3.3 PUASA MAKRUH
1. Puasa Hari Sabtu
Makruh berpuasa pada hari sabtu sahaja tanpa digandingkan dengan
hari sebelum atau selepasnya kerana hari sabtu adalah hari kebesaran bagi
Yahudi. Jadi kita dilarang mengkhususkan hari sabtu dengan berpuasa. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, maksudnya: “Janganlah kamu berpuasa pada hari sabtu, kecuali
puasa yang diwajibkan ke atas kamu.”[3]
Walau bagaimanapun puasa qadha dan puasa nazar terkecuali. Demikian
juga halnya puasa sunat yang biasa dilakukan dan secara kebetulannya jatuh pada
hari sabtu, maka ia dikecualikan dari larangan itu. [4]
2. Puasa hari Jumaat secara khusus
Dilarang juga berpuasa sunat pada hari Jumaat jika tidak disertakan
dengan berpuasa sehari sebelumnya iaitu hari khamis atau sehari selepasnya,
iaitu hari sabtu. Rasulullah S.A.W
bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
إِنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ يَوْمُ عِيدٍ فَلَا تَجْعَلُوا يَوْمَ عِيدِكُمْ يَوْمَ
صِيَامِكُمْ إِلَّا أَنْ تَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ.
Dari Abu Hurairah RA, katanya: Aku telah mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Sesungguhnya hari Jumaat adalah hari raya kalian, maka janganlah
kalian berpuasa pada hari itu kecuali kalian berpuasa pada hari sebelumnya
(Hari Khamis) atau sesudahnya (hari Sabtu)” [5]
Bahawasanya hari Jumaat ialah hari raya mingguan dan lazimnya tidak
dituntut berpuasa pada hari yang dimuliakan sebagai hari raya.
3. Puasa sepanjang tahun
Puasa ini dilakukan setiap hari berturut-turut sepanjang masa
melainkan hari yang diharamkan berpuasa. Rasulullah S.A.W bersabda: “ Tidak
ada pahala orang yang berpuasa selama-lamanya.” ( Riwayat Bukhari dan
Muslim)
Umar r.a bertanya: “ Bagaimana dengan orang yang berpuasa
selama-lamanya? Nabi S.A.W menjawab: “ Dia tidak mendapat pahala puasa dan
tidak dapat makan ( kerana dia puasa).” (Riwayat Muslim)
Hadis ini menunjukkan larangan berpuasa sepanjang tahun. Sebahagian
sahabat dan tabiien berpuasa penuh sepanjang tahun dan di antaranya adalah
Aisyah, Abu Tolhah Al Ansari, Ibnu Umar, Abu Umamah dan isterinya dan beberapa
orang dikalangan tabiien sehingga ada yang puasa selama 40 tahun. Namun Jumhur
ulama mengatakan hukumnya sunat sekiranya tidak memberi mudarat kepada orang
yang berpuasa dan tidak berpuasa pada hari yang diharamkan. Mereka berkata
bahawa hadis-hadis yang melarang sekiranya ia memberi mudarat atau puasa pada
hari yang di haramkan berpuasa . Hadis dari Abdullah bin Amru r.a tentang puasa
ini :
“Rasulullah s.a.w telah diberitahu bahawa aku pernah berkata: Aku akan
beribadat di waktu malam dan akan berpuasa pada siang hari sepanjang hidupku.
Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: Engkaukah yang telah berkata demikian? Aku
berkata kepada baginda: Akulah yang telah berkata demikian wahai Rasulullah
s.a.w! Rasulullah s.a.w bersabda: Engkau tidak akan berkuasa melakukannya.
Baginda menambah: Berpuasa dan berbukalah. Tidur dan beribadatlah di waktu
malam. Berpuasalah tiga hari dalam sebulan kerana satu kebajikan itu akan
dibalas dengan sepuluh kebajikan yang menyamai berpuasa setahun. Lalu aku
berkata kepada Rasulullah s.a.w: Aku mampu melakukan lebih dari itu. Baginda
bersabda: Berpuasalah sehari dan berbukalah dua hari. Aku berkata kepada
baginda: Aku mampu berbuat lebih dari itu. Rasulullah s.a.w bersabda:
Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari. Itulah cara puasa Nabi Daud a.s dan
puasa yang sederhana. Aku berkata lagi: Aku masih mampu berbuat lebih dari itu.
Baginda bersabda: Tiada yang lebih baik dari itu. Abdullah bin Amru r.a
berkata: Tentu saja aku terima berpuasa tiga hari sebagaimana yang dinyatakan
oleh Rasulullah s.a.w yang aku lebih cintai daripada isteri dan hartaku.” (
Shahih Muslim:1962)
4. Puasa sunat dengan ketiadaan izin suami.
Puasa isteri tanpa izin suami padahal si suami masih hidup adalah
berdasarkan sabda Rasulullah S.A.W: “Tidak halal bagi seseorang perempuan
mengerjakan puasa sunat sedang suaminya ada bersama melainkan dengan izinnya.” (Riwayat
Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi dalil bahawa isteri dilarang untuk mengerjakan
puasa sunat melainkan dengan izin suaminya kecuali kalau suaminya tidak ada
bersama kerana pergi keluar negeri maka ia boleh mengerjakan puasa sunat dan
tidak memerlukan izin suaminya. Ini kerana, hak suami adalah satu perkara yang
wajib dan tidak boleh dicuaikan kerana melakukan suatu yang sunat.
Puasa pada hari Arafah yakni bagi orang-orang yang berada di
Arafah, kerana Rasulullah S.A W melarang puasa pada hari Arafah bagi orang yang
berada di Arafah.[6]
Puasa akhir Syaaban, kerana Rasulullah S.A.W bersabda: “ jika
Syaaban telah berlalu setengah, maka janganlah kalian berpuasa.” ( Riwayat Abu Daud dan Al Baihaqi, di shahihkan oleh
Ibnu Hibban)
3.4 PUASA YANG DIHARAMKAN
1. Puasa pada kedua-dua hari raya.
Alim Ulama telah ijma ( sekata) tentang haramnya berpuasa pada
kedua-dua hari raya iaitu hari raya Aidilfitri dan hari raya Aidiladha sama ada
puasa wajib atau puasa sunat. Dari Abu ‘Ubayd, katanya: Aku telah hadir
merayakan hari raya bersama-sama dengan Saiyidina Umar bin al khattab r.a, lalu
dia berkata: “ Hari raya ini dan hari raya yang satu lagi, Rasulullah S.A.W
telah melarang berpuasa padanya, iaitu hari raya Aidilfitri setelah kamu
sempurnakan puasa kamu dan hari raya Aidiladha untuk kamu makan dari daging
korban kamu.” ( Riwayat Bukhari)
2. Puasa pada hari-hari Tasyriq.
Hari-hari Tasyriq ialah tiga hari yang mengiringi hari raya haji
iaitu hari yang kesebelas kedua belas dan ketiga belas. Dalam masa inilah
jemaah haji mengerjakan ibadat haji dan sedang berhimpun di Mina. Larangan
berpuasa pada ketiga-tiga hari yang tersebut ada diterangkan dalam hadis dari
Abu Hurairah r.a bahawa Rasulullah S.A.W telah mengutuskan Abdullah bin Huzafah
menyeru di merata-rata tempat, di Mina, katanya: “Janganlah kamu berpuasa
pada (ketiga-tiga) hari tasyriq ini, kerana ditentukan untuk kamu menikmati
makan minum (dengan gembira) dan untuk kamu mengingati Allah azza wa jalla
(dengan takbir dan tahmid)” (Rowayat Imam Ahmad).
3. Puasa Hari Syak
Hari syak adalah hari yang diharamkan ke atasnya berpuasa, namun
jika ia terkena pada hari untuk menunaikan nazar puasa, maka diharuskan ia berpuasa. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan
oleh Ammar bin Yasir:
“Barang siapa yang berpuasa pada hari di mana orang ramai merasa
syak padanya (hari Syak), maka sesungguhnya dia telah menderhakai Abu Al Qasim
(Nabi S.A.W)” ( Riwayat At
Tirmidzi)
4.0 PERKARA-PERKARA YANG MEMBATALKAN PUASA
Terdapat beberapa perbuatan yang wajib dijauhi oleh orang yang
berpuasa, kerana sekiranya perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan pada siang
hari di bulan Ramadhan, ianya akan membatalkan puasa dan mungkin akan menjadikan
ia berdosa. Perkara-perkara tersebut adalah sebagaimana berikut:
1.
Makan dan minum dengan
sengaja (ijmak ulamak) berdalilkan
pemahaman dari ayat Allah; “..maka sekarang setubuhilah isteri-isteri kamu
dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kamu; dan makanlah serta
minumlah sehingga nyata kepada kamu benang putih (cahaya siang) dari benang
hitam (kegelapan malam) iaitu waktu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sehingga waktu malam (maghrib)…”.
(Al-Baqarah;187)
Dengan demikian, dapat difahami bahawa puasa itu adalah menahan
diri dari makan dan minum. Ini kerana sekiranya orang berpuasa sengaja makan
dan minum bererti ia telah berbuka (tidak berpuasa). Jika orang yang sedang
berpuasa melakukannya atas sebab lupa, salah atau dipaksa, maka ianya tidak
membatalkan puasanya. Perkara ini adalah berdasarkan dalil-dalil sebagaimana
berikut:
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“ Jika seseorang itu terlupa sehingga dia makan dan minum,
hendaklah dia menyempurnakan puasanya, kerana sesungguhnya Allah yang
memberinya makan dan minum.”
(Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
“ Sesungguhnya Allah memberi maaf kepada umatku kerana salah atau
lupa dan kerana dipaksa.”
(Hadis Riwayat at-Thahawi ,
al-Hakim, Ibnu Hazm di dalam al-Ihkam ad-Daruquthni melalui dua jalan dari
al-Auza’i, dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, dari Ubaid bin ‘Umair , dari Ibnu ‘Abbas
)
2.
Muntah
dengan sengaja walaupun
sedikit (berdasarkan pandangan Imam Malik dan Syafi’ie) berdalilkan hadis Nabi
s.a.w.; “Sesiapa yang terpaksa muntah, maka (tidaklah batal puasanya) dan ia
tidak wajib mengqadha’ dan sesiapa yang sengaja muntah, maka (batallah
puasanya) dan ia wajib mengqadhanya”
(Hadis Riwayat Imam Abu Daud,Tirmizi, an-Nasai dan lain-lain dari
Abu Hurairah r.a.).
Mengikut pandangan Imam Abu Hanifah; tidak batal puasa kecuali
banyak (penuh mulut). Jika muntah berlaku tanpa sengaja tidak batal puasa
dengan ijmak ulamak.Barangsiapa yang muntah kerana terpaksa atau tidak sengaja,
maka tidak membatalkan puasanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda:
“ Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib baginya untuk
mengqadha puasanya, dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka wajib baginya
mengqadhakan puasanya.”
(Hadis
Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah)
Perintah mengqadha juga terdapat di dalam riwayat Mu’adzah, dia
berkata:
“ Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah, “ Mengapa orang haid
mengqadha puasa tetapi tidak mengqadha solat?” ‘Aisyah berkata, “Apakah engkau
wanita Haruri”( Haruri dinisbahkan kepada Harura’(iaitu) negeri yang jaraknya 2
batu dari Kufah. Mereka yang memiliki sikap membantah dinisbahkan kepada
kelompok tersebut (kelompok khawarij). Aku menjawab, “Aku bukan Haruri, tetapi
hanya (sekadar) bertanya.” ‘Aisyah berkata, “Kami pun haid ketika puasa, tetapi
kami hanya diperintahkan untuk mengqadha puasa, tidak diperintahkan untuk
mengqadha solat.”(Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
3.
Bersetubuh
dengan isteri pada siang hari bulan Ramadhan
walaupun tanpa keluar mani (ijmak ulamak).
Imam asy-Syaukani berkata (Dararil Mudhiyyah): “Jima’ dengan
sengaja, tidak ada ikhtilaf (perbezaan pendapat) padanya bahawa perkara
tersebut membatalkan puasa, adapun jika jima’ tersebut terjadi kerana lupa,
maka sebahagian ulama menganggapnya sama dengan orang yang makan dan minum
dengan tidak sengaja.”
Ibnul Qayyim berkata (Zaadul Ma’ad), “al-Quran menunjukkan bahawa
jima’ membatalkan puasa sebagaimana halnya makan dan minum, tidak ada perbezaan
pendapat dalam perkara ini.” Dalilnya adalah firman Allah:
“Sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan
Allah untuk kalian.”
(Al-Baqarah,2:187)
Diizinkan bergaul (dengan isterinya) di malam hari, maka dapat kita
fahami bahawa puasa itu dari makan, minum dan jima’. Barangsiapa yang
membatalkan puasanya dengan jima’, maka dia harus mengqadhanya dan membayar
kafarat. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, (dia berkata):
“ Pernah datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam kemudian berkata, “Ya Rasulullah, binasalah aku!” Rasulullah bertanya,
“Apakah yang membuatmu binasa?” Orang itu menjawab, “Aku menjima’i isteriku di
bulan Ramadhan.” Rasulullah bersabda, “Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?” Orang itu menjawab, “Tidak.”
Rasulullah bersabda, “Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang
miskin?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Rasulullah bersabda, “Duduklah.”Dia pun
duduk. Kemudian ada yang mengirimkan (membawakan) satu wadah kurma kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Rasulullah bersabda, “Bersedekahlah dengan kurma
ini.” Orang itu berkata “Tidak ada di antara dua kampung ini keluarga yang
lebih miskin dari kami.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pun tertawa hingga
terlihat gigi serinya, lalu beliau bersabda, “Ambillah, berilah makan kepada keluargamu.”
(Riwayat Al-Bukhari , Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud , Ibnu Majah)
4.
Suntikan
yang mengandungi makanan. Iaitu
menyalurkan zat makanan ke perut dengan maksud memberi makanan bagi orang yang
sakit. Suntikan seperti ini membatalkan puasa, kerana memasukkan makanan kepada
orang yang sedang berpuasa. Adapun jika suntikan tersebut tidak sampai kepada
perut tetapi hanya ke darah, maka ini pun juga membatalkan puasa, kerana
kandungan cecair tersebut kedudukannya menggantikan kedudukan makanan dan
minuman. Kebanyakan orang yang pengsan dalam jangka waktu yang lama diberikan
makanan dengan cara seperti ini, seperti jauluz (glukosa) dan salayin (garam/Sodium),
demikian pula zat-zat yang diberikan kepada sebahagian orang-orang yang sakit
asma, maka ini pun membatalkan puasa.
5.
Kedatangan
haid dan nifas (ijmak
ulamak); wanita apabila kedatangan haid atau nifas, maka batallah puasanya
dengan sendirinya. Kemudian wajib ia menggantikan puasanya pada hari-hari lain
di luar Ramadhan.
6.
Mengeluarkan
air mani dengan perbuatan yang disengajakan
seperti mengeluarkan dengan tangan (sama ada tangan sendiri atau tangan
isteri), bercium atau berpelukan dengan isteri dan sebagainya. Adapun jika
keluar mani kerana melihat atau berfikir/khayal, tidaklah membatalkan puasa
kerana ia seumpama mimpi kecuali orang yang menjadi kebiasaan baginya. Namun
begitu perbuatan tersebut adalah makruh.
Begitu juga,jika yang keluar adalah air mazi, tidaklah membatalkan puasa.
7.
Memasukkan
sesuatu bukan makanan melalui saluran terbuka
yang menyampai ke rongga perut, yakni memasukkan melalui mulut atau hidung.
Perkara ini membatalkan puasa mengikut mazhab Syafi’ie, Malik dan jumhur ulamak
dengan mengkiaskannya kepada makanan dan minuman.
8.
Memasukkan
ubat melalui lubang dubur; membatalkan puasa mengikut jumhur ulamak
kecuali Imam Malik (mengikut satu pandangannya) dan Imam Daud.
9.
Menitikkan
air atau ubat ke dalam lubang telinga dan lubang kencing membatalkan
puasa menurut Imam Syafi’ie. Begitu juga, menyedut ubat melalui hidung.
10.
Pengsan
sepanjang hari akan
membatalkan puasa dengan disepakati sekalian ulamak. Adapun tidur sepanjang
hari tidak membatalkan puasa dengan ijmak juga.
11.
Gila. Jika seseorang itu menjadi gila, batallah puasanya kerana ia telah
hilang darinya kelayakan untuk beribadah.
12.
Berbekam (mengeluarkan darah) batal puasa orang yang melakukan bekam
mengikut Imam Ahmad. Jumhur ulamak tidak membatalkannya.
13.
Berniat
keluar dari puasa. Dengan nial
ini batal puasa mengikut Imam Ahmad. Menurut Abu Hanifah, majoriti ulamak
mazhab Maliki dan yang rajih dalam mazhab Syafi’ie; tidak batal puasa.
5.0 RUKHSAH PUASA
Kewajipan berpuasa ke atas orang Islam apabila tiba bulan Ramadhan
adalah jelas bagi berdasarkan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 185 yang
bermaksud:
“ Maka sesiapa di antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadhan
(atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu.”
Walau bagaimanapun, Allah Subhanahu Wata’ala mengecualikan beberapa
golongan yang tertentu seperti orang yang sakit dan orang yang musafir daripada
kewajipan berpuasa seperti mana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 185
juga yang bermaksud:
“ Sesiapa yamg sakit atau musafir (diharuskan berbuka dan hendaklah
dia berpuasa) sebanyak hari yang telah ditinggalkan itu, pada hari-hari yang
lain.”
5.1 MUSAFIR DAN ORANG SAKIT
Sesiapa yang meninggalkan puasa Ramadhan disebabkan sakit ataupun
musafir, maka ai wajib mengqadha’nya sebelum datangnya bulan Ramadhan tahun
berikutnya. Sekiranya ia tidak mengqadha’nya kerana tidak mengambil berat akan
kewajipan tersebut sehingga masuk Ramadhan tahun berikutnya, maka ia berdosa
dan diwajibkan qadha’ dan fidyah. Fidyah ialah memberi makan kepada orang-orang
fakir dengan satu cupak makanan asasi untuk setiap hari yang ditinggalkan. Satu
cupak bersamaan lebih kurang 600 gram dan akan bertambah dengan bertambahnya
tahun.
Sekiranya keuzuran berterusan seperti sakit yang berterusan
sehingga masuk bulan Ramadhan yang berikutnya, dia tidak dwajibkan qadha’ dan
tidak perlu mengeluarkan fidyah kerana melewatkan qadha’ tersebut. Manakala,
jika ia meninggal dunia, keadaan ini bergantung pada dua keadaan. Pertama,
sekiranya ia mati sebelum mampu mengqadha’kannya, maka ia tidak berdosa dan
tidak perlu meminta orang lain untuk mengqadha’kannya. Keadaan yang kedua pula,
sekiranya ia mati selepas mampu untuk mengqadha’nya maka wali[7]nya
disunatkan mengqadha’ hari-hari yang ditinggalkan bag pihaknya. Hal ini telah
dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya yang bermaksud:
Daripada Aisyah RA bahawa Rasulullah SAW bersabda: “ Barangsiapa
yang mati dan dia masih ada puasa yang tidak diqadha’ maka walinyalah yang
berpuasa bagi pihaknya.”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dalam pada itu, Rasulullah SAW juga telah bersabda dalam hadis
lainnya yang bermaksud:
Daripada Ibnu Abbas RA, bahawa telah datang seorang lelaki menemui
Nabi SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ibuku telah mati dan
telah meninggalkan satu bulan puasa, apakah aku perlu mengqadha’kannya bagi
pihaknya? “ Jawab Baginda: “Ya, hutang Allah lebih berhak untuk dijelaskan.”
Puasa orang lain bagi pihaknya adalah sah apabila mendapat keizinan
daripada salah seorang kerabatnya. Sekiranya dia berpuasa tanpa mendapat
keizinan dan wasiat daripada si mati, maka puasa ganti tersebut adalah tidak
sah. Manakala, jika tidak ada seorang pun yang berpuasa bagi pihaknya, maka
hendaklah dikeluarkan satu cupak makanan bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Makanan tersebut wajib dikeluarkan daripada harta pusaka yang ditinggalkan,
sama seperti hutang. Sekiranya dia tidak memiliki harta, maka orang lain boleh
mengeluarkan bagi pihaknya dan terlepaslah dosanya sepertimana hadis Rasulullah
SAW yang bermaksud:
Daripada Ibnu Umar RA, bahawa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa
yang mati sedangkan dia masih mempunyai puasa Ramadhan yang belum
diqadha’kannya, hendaklah diberi makan seorang miskin bagi setiap hari yang
ditinggalkan.”
(Riwayat
At-Tirmizi)
Daripada Ibnu Abbas Ra, bahawa Rasulullah SAW bersabda: “ Apabila
seseorang itu sakit pada bulan Ramadhan, kemudian dia meninggal dunia dan tidak
berpuasa, hendaklah diberi makan bagi pihaknya.”
(Riwayat
Abu Daud)
5.2 ORANG YANG TERLALU TUA DAN PESAKIT YANG
TIADA HARAPAN UNTUK SEMBUH
Apabila orang yang terlalu tua terpaksa berbuka puasa, dia wajib
bersedekah satu cupak makanan asasi bagi setiap hari yang ditinggalkan seperti
mana hadis Rasulullah SAW yang bermaksud:
Daripada Atho’ bahawa Ibnu Abbas RA mendengar ayat Al-Quran
dibacakan oleh Rasulullah yang bermaksud: “ Dan wajib atas orang-orang yang
tdak berdaya berpuasa (kerana tua dan sebagainya) membayar fidyah dengan
memberi makan orang-orang miskin.”
(Riwayat Bukhari)
Ibnu Abbas berkata ayat ini tidak dimansukhkan. Ia ditujukan kepada
lelaki dan wanita yang terlalu tua dan tidak mampu untuk berpuasa. Mereka
hendaklah memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Dalam pada itu, bagi mereka yang sakit dan tiada harapan untuk
sembuh, hukumnya adalah sama dengan orang yang terlalu tua yang tidak mampu
untuk berpuasa. Mereka dibenarkan untuk berbuka puasa dan bersedekah satu cupak
makanan asasi bagi setiap hari yang ditinggalkan.
5.3 PEREMPUAN HAMIL DAN
MENYUSUKAN ANAK
Apabila wanita hamil dan yang menyusukan anak berbuka puasa, maka
tindakannya itu sama ada kerana bimbang akan dirinya atau anaknya. Sekiranya ia
berbuka kerana bimbang akan wujudnya mudharat terhadap dirinya apabila a
berpuasa, maka a wajib qadha’ sebelum datang bulan Ramadhan yang berikutnya
sepertimana hadis Rasulullah SAW yang bermaksud:
Daripada Anas al-Kaba’i RA daripada Rasulullah SAW sabdanya: “
Sesungguhnya Allah SWT telah mengangkat puasa orang yang musafir (boleh berbuka
puasa) dan telah mengurangkan sembahyangnya (boleh diqasar sembahyang) dan
diangkat puasa daripada orang yang hamil dan sedang menyusukan anak.” (Riwayat At-Tirmizi dan Abu Daud)
Maksud mengurangkan sembahyang ialah memberi kelonggaran untuk
mengqasarkan sembahyang. Manakala, maksud mengangkat puasa ialah membenarkan
berbuka dan diminta berbuka dan diminta supaya mengqadha’nya.
Apabila perempuan hamil berbuka puasa kerana bimbang akan anaknya
seperti bimbang akan berlakunya keguguran sekiranya dia berpuasa atau perempuan
yang menyusukan anak bimbang akan kekurangan susunya lalu anaknya itu akan
mendapat mudharat sekiranya dia berpuasa, dalam keadaan ia wajib qadha’ dan
bersedekah satu cupak makanan asasi bagi setiap hari yang ditinggalkan seperti
mana Abu Daud meriwayatkan daripada Ibnu Abbas RA mengenai ayat Al-Quran yang
bermaksud:
“ Dan wajib atas orang-orang yang tdak berdaya berpuasa (kerana tua
dan sebagainya) membayar fidyah dengan memberi makan orang-orang miskin.”
Beliau berkata bahawa ayat ini merupakan rukhsah bagi lelaki
dan wanita yang terlalu tua dan tidak mampu untuk berpuasa lalu mereka berbuka.
Maka, mereka hendaklah memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang
ditinggalkan. Ayat ini juga merupakan rukhsah bagi wanita hamil dan yang
sedang menyusukan anak sekiranya mereka bimbang terhadap kesihatan akan
anaknya, mereka boleh berbuka dan hendaklah memberi makan fakir miskin.
5.1
QADA PUASA
Definisi qada puasa ialah
membayar kewajipan sesudah waktunya .Seperti contoh orang yang ketinggalan
puasanya kerana haid sebanyak 3 hari.Maka diwajibkan ke atasnya
menggantikan puasanya sebanyak 3 hari di
bulan lain .Kewajipan ini telah dijelaskan lagi dengan sebuah hadis daripada
Aisyah.
Diriwayatkan:
Dari Aisyah
R.A. katanya: “Kami disuruh oleh Rasullulah S.A.W. mengqadakan puasa dan tidak
disuruhnya mengqadakan sembahyang”
[hadis riwayat Imam Bukhari]
Seperti dalam pengetahuan
kita,puasa Ramadhan telah difardhukan oleh Allah S.W.T pada bulan Sya’ban tahun
kedua Hijrah.Pada nisbahnya,puasa telah diamalkan oleh umat terdahulu dan juga
ahli Kitab yang sezaman dengan Rasullulah S.A.W.
Firman Allah S.W.T dalam surah Al-Baqarah ayat 183 yang bermaksud:
|
“Wahai orang-orang yang beriman!kamu diwajibkan berpuasa
sebagaimana yang telah diwajibkan ke
atas umat-umat terdahulu daripada kamu supaya kamu bertaqwa”
Justeru,perintah Allah wajib diikuti dan dipraktikkan dengan bersungguh agar redha
Allah S.W.T akan kita gapai.Namun begitu,terdapat sebilangan golongan yang
dipersetujui oleh jumhur ulamak wajib
mengqadakan puasa iaitu golongan yang uzur atau orang yang sakit dan tiada
upaya dalam kudratnya,atau orang yang apabila berpuasa maka akan bertambah kesakitannya.Maka,orang itu boleh
berbuka dan wajib mengqadakan puasanya apabila sudah sembuh dari
kesakitannya.Orang yang meninggalkan puasa kerana uzur itu wajib mengqadakan
puasanya dengan segera.Namun begitu,sebahagian jumhur ulamak berpendapat tidak wajib bersegera tetapi
sepanjang tahun itu adalah masa untuk mengqadakan puasa.perbezaan pendapat
telah timbul dalam kalangan para jumhur ulamak salaf berkaitan dengan qada puasa.
Firman Allah S.W.T dalam
surah Al-Baqarah ayat 185 yang bermaksud:
“Barangsiapa yang sakit
dalam perjalanan maka ia boleh puasa di lain hari yakni sesudah bulan Ramadhan
sebanyak hari yang ditinggalkan”
Pendapat pertama yang mengatakan bahawa orang yang diberi
kelonggaran itu wajib menqadakan puasanya apabila sudah pulih dari
keuzuran.Manakala pendapat kedua pula mengatakan bahawa ayat tersebut hanya
menyuruh mengqadakan tidak ditentukan hari di mana dia wajib mengqadakan
puasanya.Maka,orang itu dibolehkan
untuk memilih hari untuk
mengqadakan puasanya diantara bulan Ramadhan yang baru dilaluinya sehinggalah
tiba Ramadhan akan datang.
Kata Aisyah R.A : “tidak pernah saya mengqadakan puasa yang saya
tinggalkan pada bulan Ramadhan melainkan pada bulan Sya’ban sampai Rasullulah S.A.W. telah meninggal dunia”
Hadis Riwayat At-tirmidzi dan Ibnu Huzaimah.
Selain itu,ada persoalan mengenai golongan yang berbekam .Bolehkah
kita berbekam?..Berbekam pada siang hari bagi orang yang berpuasa adakah batal
puasa dan wajibkah mengqadakan puasanya.
Sabda Rasullulah S.A.W:
Dari Ibnu Abbas R.A : “sesungguhnya Nabi Muhammad S.A.W. telah
berbekam semasa dalam ihramnya.dan beliau berbekam pula sewaktu Baginda
berpuasa”.
[hadis riwayat Bukhari]
Ulama tabiin lain berpendapat bahawa berbekam itu membatalkan
puasa.Maka apabila ada perkara yang membatalkan puasa maka wajiblah ke atasnya
menggantikan puasanya atau lebih tepat lagi mengqadakan puasa yang
ditinggalkannya.
Menurut sabda Rasullulah
S.A.W. berkata: “berbukalah(batallah puasa) bagi orang yang berbekam dan
dibekam”
[Hadis riwayat Ahmad dan At-tirmidzi]
Hadis yang pertama lebih kuat berbanding dengan hadis yang kedua,maka pendapat yang diterima dari hadis
pertama lebih kukuh untuk dijadikan asas mengenai isu berbekam ini.
Kemudian,bagi golongan wanita yang hamil atau menyusukan anak yang
bimbang akan keselamatan dirinya serta bayinya dibolehkan berbuka dan dia wajib
mengqadakan puasanya.Dia juga wajib membayar fidyah sebanyak satu cupak makanan
asasi bagi setiap hari yang ditinggalkannya.Makanan asasi tersebut adalah
bergantung kepada makanan ruji masyarakat negara tersebut misalnya Malaysia.Makanan rujinya adalah
nasi.Maka golongan yang melaksanakan fidyah wajib memberi secupak beras bagi setiap hari yang
ditinggalkannya.satu cupak lebih kurang sama dengan 600 gram.
Apakah fidyah?
Fidyah ialah bayaran denda yang dikenakan ke atas golongan yang
tidak menggantikan puasa mereka.Menurut pendapat Daruquthni ,tidak ada
sabitan hadis daripada Baginda
Rasullulah S.A.W. mengenai fidyah.Hal ini kerana Daruquthni mengatakan bahawa
itu hanyalah perkataan daripada Abu Hurairah.Selain itu,secara nisbahnya fidyah
yang telah dinyatakan oleh Allah Azza Wa Jalla seperti di dalam surah Al Baqarah:184)
“…Dan wajib ke atas orang-orang yang payah/sukar mengerjakan puasa
(kerana tua, sakit yang tiada kemungkinan sembuh dan sebagainya) membayar
fidyah, iaitu memberi makan seorang miskin (bagi tiap-tiap hari yang
ditinggalkan puasanya)…”.
Ada sebahagian persoalan tentang menggantikan puasa orang lain.Bolehkah?.Orang
yang meninggalkan puasa Ramadhan atas sebab keuzuran lalu ia mati sebelum dapat
mengqadakan puasanya ‘ uzurnya terus-menerus sehingga dia mati.Maka jumhur
ulamak berpendapat bahawa golongan ini tidak berdosa dan tidak wajib ke atasnya
mengqadakan puasanya dan tidak wajib membayar fidyah.Islam itu agama yang mudah
dan tidak membebankan para umatnya.Namun ,apabila ada keadaan di mana si mati
itu berkemungkinan untuk mengqadakan puasanya tetapi tidak dikerjakan maka
hendaklah waris-waris terdekat mengqadakan puasanya.
Sabda Rasullulah S.A.W:
Dari Aisyah R.A. telah berkata Rasullulah S.A.W. “barangsipa yang
mati dengan meninggalkan kewajipan yakni qada puasa maka walinya yang akan
menggantikannya”
[hadis riwayat Bukhari dan Muslim]
Ada sesetengah pendapat yang mengatakan bahawa puasa yang
dikerjakan untuk orang lain hanyalah puasa nazar.Hal ini disahihkan dengan sabda daripada Rasullulah S.A.W.
Dari Ibnu Abbas R.A. sesungguhnya seorang perempuan datang bertanya
kepada Rasullulah S.A.W.,katanya : “ibu saya telah meninggal dunia dan ia
ketinggalan puasa nazar yang belum dikerjakannya,adakah boleh saya menggantikan
puasa ibu saya?”jawab Rasullulah S.A.W:
“bagaimana pendapatmu apabila ibumu itu mempunyai hutang kemudian engkau
membayar hutang itu.adakah terbayar hutang ibumu itu?”jawab perempuan itu:
“tentu terbayar”.Rasullulah S.A.W berkata: “berpuasalah kamu untuk menggantikan
puasa ibumu”
[riwayat Muslim]
Selain dari pendapat tersebut ada pendapat yang mengatakan bahawa
sebahagian harta peninggalan si mati
hendaklah disedekahkan kepada fakir miskin pada tiap-tiap hari qada.3/4 liter
makanan yang mengenyangkan.pendapat ini disokong melalui sepotong hadis
Sabda Rasullulah S.A.W:
Dari Ibnu Umar telah berkata Rasullulah S.A.W : “barangsiapa yang
mati dan ia ada meninggalkan kewajipan qada puasa,maka hendaklah dibayarkan
dengan makanan tiap-tiap hari untuk seorang miskin”.
[hadis riwayat At-tirmidzi]
At-tirmidzi mengakui bahawa hadis ini adalah ghaib kerana hadis ini
hanya sampai kepada Ibnu Umar R.A. dan tidak sampai kepada Rasullulah
S.A.W.,maka dengan sendirinya pendapat pertama adalah lebih kuat dari segi
penghujahan kerana hadisnya sahih.
Selain itu,keadaan refleks di mana terjadinya
perubahan fikah menjadikan satu perkara
iaitu bolehkah kita mengqadakan puasa disulami dengan puasa sunat.Hal
ini seringkali menjadi pertelingkahan para jumhur ulama-ulama salaf.Namun begitu,terdapat beberapa pendapat
mengenai perkara ini. Selain
itu, penggabungan puasa ganti ramadhan
dan puasa yang mana satu lebih perlu diutamakan?
Jika ada yang bertanya manakah yang lebih baik
di antara puasa sunat syawwal dan puasa qadha?. Jawapannya sudah tentu adalah
puasa Qadha.
Ini terbukti dari hadis Qudsi yang sohih:
وما
تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه وما يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى
أحبه
Ertinya :
"..dan tidaklah hampir kepadaku seorang hambaKu dengan apa juapun, maka
yang lebih ku sukai adalah mereka melaksanakan amalan fardhu/wajib ke atas
mereka, dan sentiasalah mereka ingin menghampirkan diri mereka kepadaKu dengan
mengerjakan amalan sunat sehinggalah aku kasih kepadanya..."
(Riwayat Al- Bukhari no 6021)
Hadis tadi sebagai asas keutamaan, walau bagaimanapun dari sudut praktikal jawapannya mungkin berbeza menurut keadaan diri seseorang.
Maksudnya begini, jika seseorang itu perlu
Qadha puasanya selama 30, berpuluh atau berbelas hari (kerana nifas atau haid
yang lama di bulan Ramadan sebagai contoh) dan tubuhnya juga sihat dan di
yakini masih kuat. Eloklah ia mengerjakan puasa sunat Syawwal terlebih dahulu
di ketika itu . Ini adalah kerana waktu sunnat puasa Syawal yang singkat
berbanding Qadha yang dilaksanakan
sepanjang tahun.
Bagaimanapun harus di ingat, walaupun waktu
bagi puasa Qadha adalah panjang, kita tetap tidak pasti adakah kita mampu
sampai ke tarikh itu atau ajal menjelang dahulu.
Seseorang yang mati sebelum mengganti puasa
Ramadannya tetapi sudah berpuasa sunat Syawal akan pasti bermasalah kerana ia
dikira masih berhutang dengan Allah SWT.
Bagaimanapun seseorang yang mati setelah
berjaya menggantikan puasanya tetapi tidak sempat berpuasa sunat Syawal,
pastinya tiada sebarang masalah pun, malah mungkin ia juga mungkin boleh
mendapat pahala sunat syawal itu sekali.
Berdasarkan sabda Nabi SAW:
إن الله كتب الحسنات
والسيئات ثم بين ذلك فمن هم بحسنة فلم يعملها كتبها الله له عنده حسنة كاملة فإن
هو هم بها فعملها كتبها الله له عنده عشر حسنات إلى سبع مائة ضعف إلى أضعاف كثيرة
ومن هم بسيئة فلم يعملها كتبها الله له عنده حسنة كاملة فإن هو هم بها فعملها
كتبها الله له سيئة واحدة
Ertinya " ...
barangsiapa yang beringinan melakukan kebaikan tetapi tidak melakukannya, telah
di tuliskan oleh Allah baginya pahala penuh, maka jika ia beringinan dan
kemudian melakukannya, di tuliskan 10 pahala sehingga 700 kali ganda.."
( Riwayat
Al-Bukhari, no 6010)
Kita harus memahami bahawa darjat puasa Qadha
adalah lebih tinggi dan tanggungjawab bagi menunaikannya adalah jauh lebih
besar dari sunat Syawal, ini kerana puasa qadha adalah puasa wajib dan
merupakan ‘hutang' ibadah dengan Allah berbanding puasa syawal yang hanyalah
sebagai tambahan pahala.
'Utaibi dan juga di sebutkan oleh Dr Yusof
Al-Qaradawi di dalam kitabnya Fiqh Awlawiyyat. Ini ada asasnya kerana,
Berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW:
من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال فكأنما صام
الدهر
Ertinya: "Barangsiapa telah berpuasa
Ramadan kemudian diikuti dengan 6 hari dari dari
Syawal (puasa) maka ia adalah seperti (pahala)
puasa ad-Dahr (setahun)"
(Riwayat
Al-Bukhari, no 6502).
Secara nisbahnya
qada puasa menjadi konkrit hubungan kita dengan Allah Azza Wa Jalla iaitu
kesempurnaan rukun islam serta konotasi diantara perkara sunat dengan perkara
wajib.
Amalan wajib (qadha) memerlukan niat yang ‘jazam' (tepat dan pasti) maka tindakan
mengabungkan ia dengan niat puasa sunat mungkin boleh merosakkannya
kepastiannya. Kerana itulah ulama yang mengizinkannya mencadangkan agar diniat
puasa qadha sahaja, adapun syawal itu dipendam sahaja dengan harapan Allah
menerimanya.
Kafarah?..mungkin jarang untuk kita menyebut
tentang kafarah puasa.Ingin kami sentuh serba sedikit tentang kafarah
puasa.Kafarah ialah merosakkan puasa pada siang harinya di bulan Ramadhan
dengan melakukan jima’ dengan syarat
pelakunya mengetahui dirinya berpuasa,selain perkara yang dilakukan adalah
bertentangan dan tidak ada rukhsah yang disebabkan musafir.Kafarah hanya
diwajibkan kepada suami yang menjimak sahaja.Bagi isteri yang menjimak pula
tidak wajib walaupun mereka bersama-sama berpuasa.Hal ini kerana jenayah orang
yang berjimak adalah besar.
Hal ini seperti yang terjadi di dalam hadis
yang berbunyi:
Kejadian
bahawa seorang lelaki datang menemui Rasullulah S.A.W. katanya.Celakalah
saya,ya Rasullulah!.jawab Rasullulah
S.A.W. : “Apakah yang telah mencelakakan engkau?jawab lelaki itu: “saya telah
bersetubuh dengan isteriku di siang hari di bulan Ramadhan.Rasullulah S.A.W.
berkata: “Sanggupkah engkau memerdekakan hamba? jawab lelaki
itu:tidak.Rasullulah S.A.W. berkata:Kuatkah engkau berpuasa dua bulan
berturut-turut? jawab lelaki itu:tidak.Kata Rasullulah S.A.W. :adakah engkau
mempunyai makanan guna untuk diberikan kepada enam puluh orang fakir
miskin.jawab lelaki itu:tidak.kemudian lelaki itu duduk Maka diberikan orang ke
atas Nabi Muhammad S.A.W. sebuah bakul besar berisi tamar.Rasullulah S.A.W.
berkata:sedekahkanlah tamar ini.kata lelaki itu :kepada siapa?kepada yang lebih
miskin daripada saya?Demi Allah tidak
ada seorang pun yang lebih berhajat kepada makanan lain dari kami seisi
rumah.Rasullulah S.A.W. tertawa dan berkata:Pulanglah,berikan tamar ini kepada
isi rumahmu.
[hadis riwayat Bukhari dan Muslim]
Kesimpulan
Puasa pada bulan Ramadhan adalah salah satu syariat yang di wajibkan ke atas umat islam pada masanya.
Namun pemikiran kita tidak seharusnya disempitkan dengan puasa hanya pada bulan
Ramadhan saja, bahkan banyak jenis-jenis puasa yang boleh kita lakukan
seterusnya menjadi ibadah yang dicintai
bagi kebanyakan hamba-hambaNYA yang
ingin mendekatkan diri dengan Allah S.W.T. Puasa merupakan ubat yang sebenar
untuk menguatkan minda dan tubuh badan. Bahkan matlamat utamanya untuk menjadi
perawat hati juga merehatkan perut yang sudah bekerja selama mana umur kita
hari ini. Saat perut sedang kosong, otak boleh bergerak maju, badan menjadi
ringan memberi implikasi hebat pada diri sendiri. Jauh dari sudut kemanusiaan,
kita merasa bagaimana saudara-saudara kita yang lain seperti di Pakistan, Iraq
, Palestin dan banyak lagi umat islam yang mempunyai masalah kesukaran mendapat
makanan dan mengalami kelaparan rasakan. Kebanyakan dari mereka berpuasa tetapi
mereka memperoleh badan yang sihat dan mampu berjihad terus di tempat mereka
untuk hidup. Susahnya kehidupan mereka di sana, sehinggakan sehari mungkin
mereka hanya memakan roti dan air kosong sahaja sebagai makanan harian. Lain
keadaannya di negara yang mempunyai terlalu ramai penduduk, contohnya seperti
di India, setiap hari ada sahaja mayat yang bergelimpangan di tepi jalan akibat
mati kebuluran. Terkadang kita tidak terfikir langsung mengenai keadaan mereka
di sana sedang kita di sini di asak dengan makanan yang cukup sehari-hari.
Rohani merasai seterusnya menjentik jiwa dan minda untuk bergerak. Dari kajian yang telah kami lakukan ini, maka
terurailah tali-tali persoalan yang membelit minda kita tentang kewajipan puasa
itu sendiri pada bulan Ramadhan terutamanya dan puasa-puasa yang lain. Sebagai
umat Nabi Muhammad S.A.W seterusnya menjadi umat Islam di muka bumi Allah dan
dilantik oleh Allah S.W.T sebagai Khalifah, kita seharusnya mengerti keperluan
puasa yang Allah wajibkan pada masa tertentu sebagai ujian ketahanan mental dan
fizikal diri. Kita seharusnya mengerti dan faham tentang rukun-rukunnya,
syarat-syarat orang yang wajib, harus berpuasa. Jikalau kita tidak mengerti
tentang hukum- hukum yang berada padanya saat kita mengerjakan ibadah ini,
ditakuti tidak sempurna ibadah puasa yang kita lakukan lantas adakah puasa kita
itu di terima oleh Allah S.W.T? Dua perkara yang Rasulullah tinggalkan untuk
kita yakni Al Quran dan Assunnah sebagai panduannya dan dua perkara juga
merupakan penyebab ibadah kita di terima
yakni hati yang ikhlas dan bertepatan dengan Sunnah nabina. Akhir sekali,
sebagai umat islam, wajiblah ke atas kita untuk menuntut ilmu yang bertepatan
dengan Al Quran dan hadis bahkan seterusnya Ijma dan sebagainya. Kefahaman
dalam beribadat harus di cari dan tidak datang dengan sendirinya. Berpuasalah
agar ia menguatkan dan kurangkanlah makan dan tidur sebagai ubat yang
membangunkan kita di malam hari. Beramallah hari ini ibarat mati esok hari.
Wallahualamu.
Sabda nabi: "Sesiapa yang Allah mengkehendaki kebaikan
kepadanya, Dia akan menjadikannya faham dalam agama." (Riwayat Bukhari dan
Muslim).
Bibiliografi
Mahmood Zuhdi Hj Ab Majid, 2010,
Pengantar Pengajian Syariah, Kuala Lumpur, Al Baian corporation sdn bhd.
Dr Mustafa Al Khin,2011, kitab
Fikah Mazhab Syafie, Kuala Lumpur,
Pustaka Salam sdn Bhd.
www.E-syariah Wilayah Persekutuan.gov.my
H. Sulaiman Rasjid, 1954 Fiqh
Islam, Jakarta, Penerbit Attahiriyah.
Abu Bakar Jabir Al Jazairy,2006,
Jakarta, Pustaka Dini Sdn Bhd.
[1]
Gelarannya ialah Abu Jaafar, kitabnya yang termahsyur dikenali sebagai ‘Tafsir
At-Thobariyyi’ iaitu satu-satunya kitab tafsir yang paling agung kerana menjadi
rujukan utama oleh para mufassirin.
[2] Sohih Bukhari, Muslim wa Attirmizi
[3] Fiqh Al Sunnah (1:446) Hadis ini hadis Hasan
menurut Imam Tirmizi.
[4]
Fiqh Al Sunnah (1:446)
[5]
Diriwayatkan oleh Al Haithami dalam Majma’ Az Zawaid dan oleh Al Bazzar. Sanad
Hadis ini baik dan ada dalam Shahih bukhari dan Shahih Muslim.
[6]
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Hakim.
[7]
Kaum kerabat atau ahli keluarga terdekat.
Subscribe to:
Posts (Atom)